Kamis, 27 Maret 2014

Juniku hilang, juniku malang, juniku sayang


Juni di sore hari, aku bergegas pulang seperti biasanya. 

mengayunkan kaki, selangkah demi selangkah, berjalan dibawah tatapan mentari sore yang menurutku masih terlalu 'hangat' untuk dinikmati. 

separuh otakku masih tertinggal di tempat kerjaku, memikirkan masalah yang datang setiap paginya. 

tapi ya sudahlah, mungkin ini memang takdirku. aku yang lahir dari keluarga yang tak berpunya, mau tak mau harus bersahabat dengan segala macam cuaca, atau mungkin bencana.
kepulan asap kendaraan, hempasan debu jalanan, seakan menjadi kawan di sepanjang perjalanan menuju gubug peristirahatan.
"akhirnya sampai juga" ucapku lega.
kubuka pintu kontrakan yang besarnya tak seberapa dibanding istana musdalifah, tapi setidaknya masih cukup untukku menaruh rebah dan melepas lelah.
sesaat tubuh ini terdiam, dan ada sedikit berontak dalam hati "cihh, mau sampai kapan aku harus tinggal di tempat seperti ini?" pikirku sambil membayangkan kehhidupan para artis, pejabat, atau bahkan (yang katanya) wakil rakyat.
aku tertunduk dan melamun, ahh bukan, mungkin lebih tepatnya menghayal.
cukup lama aku terdiam sampai akhirnya ada suara yang tak asing datang memecah keheninganku.
yaa, terdengar ringtone handphone-ku yang melantunkan suara khas Matt Bellamy menyanyikan Sing For Absolution-nya Muse.
"assalamualaikum" ucapku mengawali obrolan telepon yang tak lain adalah dari seseorang yang selama ini menguatkan saat ku rapuh, meyakinkan ketika ku ragu, dan mengingatkan ditengah khilafku.
yaa, dialah wanita yang sangat aku sayangi, setelah ibuku tentunya.
sedikit berbeda dari biasanya, dia memulai percakapan dengan suara lirih, lebih rendah sekitar 2 oktaf dari nada ia bicara biasanya.
tapi mungkin itu hanya karena masalah mood, atau apalah, yang pasti aku tak mau berfikir macam-macam.
dan akhirnya ia pun mulai membuka obrolan dengan sedikit keluhan dan beberapa kritikan, mungkin bisa juga disebut sebuah 'protes'.
dan bagaikan petir ditengah hajatan, "jederrrrr...!!!" saat kudengar ia bertanya "ada apa dengan kita?"
yaa, sebuah pertanyaan langka, dan terdengar dengan suara sedikit serak pula.
"ada apa??? memangnya kenapa?" balasku bertanya, karena aku memang belum tahu ada apa sebenarnya.
sempat beberapa detik tak ada suara di earphone hape-ku, sampai akhirnya ia melanjutkan "semuanya telah berubah, aku seperti tak mengenalmu lagi, aku kehilangan kamu yang dulu, dan bla....bla....bla..."
sepertinya dia mulai lepas dengan keluhannya tentangku, ahhh, mungkin tentang 'kami' lebih tepatnya.
aku yang masih belum tau apa maunya, hanya bisa diam dan mendengarkan kalimat demi kalimat keluhannya, sambil sesekali hati ini membenarkan ucapannya.
yaa, mungkin benar, aku terlalu sibuk dengan duniaku, terlalu sibuk dengan ceritaku, sampai aku lupa, aku juga punya kisah lain di dunia kami itu sendiri.
dan akhirnya, kalimat yang tak pernah ingin kudengar (bahkan dalam mimpi sekalipun) itupun terucap, "kalo kamu udah gak sayang lagi.......bla....bla...." terdengar kalimat-kalimat yang biasa kudengar dan kulihat di FTV.
ia melanjutkan "aku gak mau memaksakan sebuah hubungan jika memang hubungan itu akan lebih baik kalau tak pernah ada, apalagi harus ada tapi dengan keterpaksaan"
aku tak bisa berfikir apapun dengan otakku yang kini tinggal separuh karena masalahku dengan pekerjaanku, dan tiba-tiba dihadapkan dengan kondisi seperti ini.
aku hanya bisa meng-IYA-kan semua yang ia ucapkan, sampai akhirnya... "tuuuttt...tuuuttt...tuuuttt" panggilan berakhir.
aku diam terpaku, antara sadar, dan sangat sadar, aku semakin tenggelam ditengah soreku di Juni ini.
"apa yang harus kulakukan?" hati ini bertanya-tanya.
"haruskah aku menangis?"
"tidak, masalah ini sepertinya terlalu pelik" pikirku.
"bahkan untuk sekedar menangis sekalipun, aku sampai lupa caranya".
sepertinya aku memang tak punya pilihan selain merelakan, kemudian belajar mengikhlaskan semua yang terjadi, bahkan yang tak pernah ku rencanakan.
kemudian mencoba menikmati takdirku sendiri layaknya anugerah yang selalu kucari.
menyapa luka, menyapu duka, menjadikan kesedihan sebagai bumbu di keseharian.
yaa, inilah kisahku, inilah soreku, inilah hidupku.
terimakasih, Juniku...

End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar